Sabtu, 16 Juli 2011

Kisah Dua Insan Mati Bersama


PASANGAN SEHIDUP-SEMATI, MATI BERSAMA
“Bu, kalau ajal datang, biarlah kamu dulu yang dijemput. Baru setelah itu aku...” Itulah pesan yang berkali-kali dilontarkan Muslih kepada istrinya, Mutmainnah, kala mereka sedang berbincang berdua. Tak dinyana, pesan tersebut terwujud. Allah mengabulkan permintaan Muslih. Keduanya pun meninggal bersama.
............
Pagi itu langit amat cerah. Orang-orang mulai ramai dengan aktivitas harian mereka. Berdagang, bersekolah, mengantar anak, memasak, dan lain sebagainya. Namun, hal tersebut tak terjadi di satu rumah. Seluruh anggota rumah tersebut sibuk mengurus kepergian anggota keluarga mereka. Membaca Yasin, menyiapkan air kembang, menggergaji bakal nisan, dan sebagainya. Ya, mereka sedang mempersiapkan proses pemakaman. Namun, bukan untuk seorang, tapi sepasang suami-istri, Muslih dan Mutmainnah.
-----------------------
Menyimpan Kabar
Kebetulan rumah tersebut dekat dengan pasar yang notabene tempat pusatnya aktivitas warga Desa Blimbing, Kecamatan Paciran, Kabupaten Lamongan tersebut. Hari itu pasar ramai dikunjungi pembeli dan penjual yang ingin bertransaksi. Tiba-tiba saja mikrofon musala berbunyi...
“Innalillahi wa inna ilaihi raaji’uun... telah meninggal dunia ibu Mutmainnah pada pukul 18.30 malam....”
Tak ayal seluruh pendengar, baik warga di pasar atau warga desa sendiri tersebut kaget dengan berita tersebut. Pasalnya, nenek bercucu 25 orang ini dikenal sebagai pribadi yang ramah dan pemurah. Seluruh warga pun bertakziah dan berbela sungkawa menuju rumah almarhumah. Sanak keluarga dan handai taulan segera bergegas menyiapkan proses pemakaman dan pengurusan jenazah.
Saat itu sang suami, Muslih, terbaring lemah di salah satu kamar rumah tersebut. Sudah 15 hari ia sakit dan tak bisa ke mana-mana. Demi menjaga perasaan sang ayah, Masfufah, anaknya yang pertama, menjaga dan tak memberitahu terlebih dulu kabar kematian ibunya.
“Fah, itu di luar ada apa kok sepertinya ramai?” tanya Muslih lemah menanti jawaban anaknya.
“Gak ada apa-apa kok, Pak. Mereka tamu yang sambang (menjenguk) ibu,” jawab Masfufah sambil menahan guratan kesedihan di wajahnya. Dia tak kuasa mengabari ayahnya sebab khawatir kondisinya menjadi buruk.
“Ibumu nggak apa-apa toh?” tanya Muslih lagi tak yakin dengan jawaban ayahnya.
“Nggak apa-apa, Pak. Ibu sudah istirahat dan tenang di kamar sebelah,” jawabnya sambil menahan genangan air mata.
Muslih pun kembali tiduran sambil disuapi sang anak. Tiga dari enam anaknya mendampinginya di kamar. Sedangkan yang lainnya mengurus prosesi pemakaman sang ibunda.
Keluarga memang sengaja menutup rapat-rapat berita kematian Mutmainnah sebab mereka tak ingin kakek berumur 70-an ini sedih kondisinya menjadi buruk. Muslih amat menyayangi istrinya. Sampai-sampai saat sang istri sakit, ia rela tak tidur demi mendampingi dan merawat sang istri meski badannya lemah.
----------
Menyusul Istri
Saat itu jam menunjukkan pukul 6 pagi. Seluruh warga berbondong-bondong silih berganti bertakziah ke rumah Muslih. Para wanita mempersiapkan prosesi pemandian jenazah.
Anak-anak almarhumah serta beberapa menantu pun mempersiapkan diri untuk memandikan jenazah. Mereka membawa dengan hati-hati jenazah sang ibu tercinta. Salah seorang anak pun mulai menyiramkan air kembang ke seluruh tubuh ibunda. Namun, baru pada siraman ketiga, tiba-tiba saja salah seorang keluarga tergopoh-gopoh mengabari...
“Nduk...Bapakmu nyusul Nduuk...,” kontan saja seluruhnya menangis dan menghentikan pemandian jenazah ibunda.
“Ya Allah... Engkau mengabulkan permintaan bapakku...,” batin Masfufah yang masih menunggui jenazah bapaknya.
.........
Muslih dan Mutmainnah telah membina rumah tangga kurang lebih 50 tahunan. Keduanya menikah dan dikaruniai 6 orang anak, 25 cucu, dan 10 cicit. Mereka hidup dalam didikan Islam. Sabar dan senantiasa membimbing anak-anak mereka ke jalan-Nya.
Keduanya memang dikenal baik oleh warga desa tersebut mengingat sang ayah adalah salah satu tokoh masyarakat dan keluarganya pun sudah akrab di telinga warga desa. Merupakan sosok penyabar dan penyayang. Saling berkasih-sayang dan setia pada keluarga dan pasangan. Tak pernah pula terdengar cerita yang memicu keretakan tali silaturahim antar sanak keluarga dan tetangga sekitar. Mereka dikenal sebagai contoh keluarga yang harmonis dan bahagia.
Tak jarang mereka membantu tetangga sekitar yang meminta bantuan keduanya. Meski tak diminta, mereka pun menawarkan lebih dulu bantuan bagi yang membutuhkan. Sungguh, para tetangga terkesan dengan kebaikan mereka.
..........
Penyabar dan Penyayang
Masfufah mengatakan bahwa bapaknya sangat menyayangi ibunya. Sang ibu, yang berusia 65-an, telah sakit 3 bulan lamanya setelah jatuh tanpa sebab sehingga hanya bisa terbaring di atas ranjang. Sang bapak, begitu sayangnya, sabar merawat ibunya dibantu anak-anak dan anggota keluarga lain. menyuapi dan membimbing kala waktu salat tiba.
Pernah suatu ketika Masfufah mendengar mereka berbincang akrab. Tiba-tiba saja, bapaknya berpesan pada ibunya, “Buk, kalau nanti ajal menjemput...biar kamu dulu ya, baru aku,” sang ibu hanya tersenyum saja. Dan perbicangan itu seringkali diulang-diulang oleh bapaknya ketika masih bisa bersama ibunya.
Lalu, 2,5 bulan sejak terbaringnya Mutmainnah, Muslih jatuh sakit. Ia pun berpesan pada anak-anaknya untuk menjaga dan merawat ibunya. Ia sendiri pun tak bisa mengurus istrinya lagi karena kondisinya lemah dan hanya bisa berbaring di kamar, sama seperti istrinya.
Hingga, tibalah saat itu. Sesaat setelah azan Magrib berkumandang, Mutmainnah menghembuskan napas terakhirnya didampingi anak-anaknya. Muslih saat itu tak mendengar kabar apapun karena keluarga sengaja merahasiakan kabar tersebut. Semalaman mereka menunggu jenazah sang ibu sambil menunggu pagi tiba. Semalaman mereka membacakan Yasin untuk almarhumah hingga fajar menjelang. Dan saat itupun tiba.
Kala itu Muslih didampingi tiga anaknya dan beberapa anggota keluarga. Tiba-tiba saja ia berujar, “Tolong, kamu jangan di situ (di pintu). Mau ada tamu,” kontan saja seluruh yang ada di ruangan terkejut. “Jangan di situ. Dia mau menjemputku. Loh, itu tamunya sudah di sana,” ujarnya lagi. Merasa aneh, salah satu anggota keluarga pun mengabari kejadian itu pada anggota yang lain. namun, belum sempat mengabari, terucaplah kata itu...
“Innalillahi wa inna ilaihi raaji’un...” Muslih ikut menyusul istri tercintanya. Warga yang melihat hal itu berucap tahmid dan  takbir, terkejut mendengar kabar tersebut.
Tak ayal, pengumuman yang kedua pun dikabarkan. Seluruh desa ada yang berdecak kagum, sedih sekaligus heran dengan berita kematian tersebut. Yang sudah pulang pun kembali lagi bertakziah dan suasana kian ramai oleh pengunjung yang datang.
“Subhanallah..., mereka ditakdirkan menjadi pasangan sehidup-semati,” ujar salah satu warga.
“Lah iya! Kok ya ada yang seperti itu. Saya sampai heran,” ujar yang lain.
“Iya, saya jadi kepingin seperti mereka. Semoga...,” timpal yang lain.
Maka, pagi itu juga almarhum Muslim dimandikan dan jenazahnya disalatkan serta dimakamkan bersama jenazah sang istri secara berdampingan.
Allah memang Maha Pengatur segalanya.

Narasumber
Masfufah, Anak Pertama:
Bapak Pesan pada Ibu
Bapak dan ibu itu saling menyayangi dan menjaga satu sama lain. Bila ada salah satu yang tertimpa musibah, yang lain mendukung dan member semangat.
Sebelum meninggal pun, bapak juga sering berpesan pada ibu, kalau ibu dijemput, biar ibu dulu yang duluan, baru bapak.
Semoga keduanya mendapatkan tempat yang mulia di sisi-Nya. Amin.

Sri Winarnik, Menantu:
Kami sangat Terkejut
Bapak dan ibu, keduanya penyabar dan penyayang. Tak pernah saya mendengar mereka bertengkar. Kepergian keduanya sungguh mengejutkan saya dan keluarga. Padahal, saat itu saya sedang menyiram jenazah ibu mertua dan belum sampai yang keempat, saya dikabari berita meninggalnya bapak mertua. Kami sekeluarga merasa sangat kehilangan.